“Jere” atau sering disebut “Karamat” adalah sebutan untuk sebuah makam tua yang diyakini oleh masyarakat sebagai tanda atau situs tempat yang dikeramatkan yang berbentuk kuburan tua. Jere berbeda dengan “Kubur” atau “Kuburan”. Masyarakat tradisional setempat meyakini bahwa, jika yang disebut Kuburan sudah pasti tempat dimana jasad seseorang dikuburkan di tempat itu, namun tidak bagi Jere atau Karamat. Masyarakat meyakini bahwa Jere itu awalnya timbul atau muncul dengan sendirinya. Tidak ada jasad yang dikuburkan di bawah batu nisan makam keramat tersebut.
Keyakinan terhadap adanya Jere atau Karamat ini hampir berlaku di seluruh jazirah Maluku Utara, baik pada wilayah kultur Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo maupun Bacan. Hampir tiap daerah di maluku utara ini dipastikan memiliki masing-masing Jere dan Karamat di wilayah tersebut.
Di pulau Ternate setidaknya terdapat 43 Karamat atau sering masyarakat menyebut JERE, dan di pulau Hiri terdapat 9 Jere.
Daftar Jere (Karamat) yang ada di pulau Ternate :
1. Jere Qalem Mayau
2. Jere Kailupa
3. Jere Kotanaka, di samping Kedaton
4. Jere Toboleu
5. Jere Kubu Lamo, di samping TMP Banau
6. Jere Akehuda
7. Jere Tubo
8. Jere Tafure
9. Jere Tabam
10. Jere Sango
11. Jere Kulaba
12 Jere Tobololo
13. Jere Boki Cafi-Cafi, di dekat Tobololo
14. Jere Woka-Woka di Sulamadaha terkait dengan Soa Sula
15. Jere Imam Wowaro di Sulamadaha
16. Jere Parmadan di Sulamadaha
17. Jere Ngara Ma-Dan di Sulamadaha terkait Soa Tomaafu
18. Jere Bale di Sulamadaha terkait Soa Tomaafu
19. Jere Salawaku di Takome
20. Jere Maleguda di Takome
21. Jere Juanga di Labuha
22. Jere Gora di Loto
23. Jere Hare di Togafo
24. Jere Golao di Taduma, kadang disebut Jere Fala
Kisah Perang Kao, yang dilapokan Wartawan Koresponden Ternate untuk 3 Surat Kabar, yakni : (1) DE PREANGER-BODE, (2) BATAVIASCH NIEUWSBLAD”, dan (3) SURABAIASCH HANDELSBLAD. Ketiganya adalah Koran Berbahasa Belanda. Koresponden Ternate Tersebut Menulis Berita Tersebut, Sebulan Setelah Kejadian.
Sumber :
1). Surat Kabar “DE PREANGER-BODE”, Terbitan hari Senin, 28 Januari 1907, dengan Judul : DE AANVAL OP KAU. (Serangan Terhadap Kao)
2). Surat Kabar “BATAVIASCH NIEUWSBLAD “, Terbitan hari Senin, 28 Januari 1907, Nomor : 47, dengan Judul : “De Aanval Op Ons Bivouak Te Kau, Noord-Halmaheira. (Serangan Terhadap Bivak di Kao).
3). Surat Kabar “SURABAIASCH HANDELSBLAD “, Terbitan hari Sabtu, 13 April 1907, dengan Judul : “De Ongeregeldheden Op Halmaheira. (Kerusuhan di Halmahera).
Terjemahan Judul dan Isi Berita Surat Kabar Tersebut, Sebagai Berikut :
SERANGAN TERHADAP BIVOUAK KAMI DI KAO, (HALMAHEIRA UTARA).
Sebagai penjelasan tentang kejadian pada awal Desember (1906) di Distrik Kao (Halmahera Timur Laut) menyampaikan sebagai berikut :
Seperti diberitakan pada bulan sebelumnya, ketika situasi di distrik Galela dan Tobelo telah dikonsolidasikan, pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) atau perwakilan pemerintahan sipil kita di Halmahera timur laut lebih efektif mengorganisir distrik Kao, di mana orang-orang Islam di sana secara diam-diam telah diberi sanksi oleh pemerintahan sultan yang secara sistematis telah memblokir semua aktifitas kemajuan kawasan suku Alifuru. Hanya beberapa orang Eropa yang mengunjungi pedalaman itu dan kemudian kembali dalam waktu singkat.
Pada bulan Desember 1905, pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) atau perwakilan pemerintahan sipil mengunjungi pedalaman Kao untuk pertama kalinya.
Ia diterima dengan baik di mana-mana, dia segera menyadari bahwa laporan yang disebarkan oleh orang-orang Islam di sana tentang kebiadaban dan perselisihan antar kelompok penduduk di sana adalah suatu kebohongan. Dalam salah satu perjalanan pada pertengahan tahun 1906, ia menyelesaikannya secara damai, atas permintaan para pihak, perselisihan yang sudah berlangsung lama antara “Bailengit” dan “Gogola Malako” mengenai hak penangkapan ikan di sungai.
Salah satu konsekuensi dari pembentukan persahabatan adalah bahwa banyak yang mengeluh tentang kekesalan penduduk pantai orang Kao Islam ketika produksi hasil laut mereka dibuang dan bahwa sebagian besar menyatakan diri mereka bersedia membayar pajak dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk barang, asalkan dengan demikian sultan menyetujuinya, karena jika tidak, mereka takut akan “pawai-hongi” (patroli laut) dari pihak sultan, dan mereka merasa terancam.
Sementara perjalanan pertama dilakukan di bawah pengawalan bersenjata, pada bulan September 1906. Kemudian di sungai Tololiku dikunjungi tanpa pengawalan bersenjata dan pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) menandatangani kontrak yang bermanfaat bagi orang suku Alifuru di sana untuk pasokan hasil hutan kepada pedagang.
Untuk menghilangkan ketakutan akan perjalanan hongi, sebuah surat dari sultan dibacakan di pantai di Kao pada pertengahan November 1906 di pantai di Kao, di mana ia (sultan) menyatakan persetujuannya untuk penggantian pajak dalam bentuk barang dengan cara tunai.
Kepala suku Madole dan Sangadji tidak menghadiri pertemuan itu namun mengizinkan bawahannya melakukan demonstrasi atau mengancam di sungai Kao pada tanggal 16 November 1906, yang sebenarnya tenang, dan kemudian melaporkan kepada sultan di Ternate : bahwa orang-orang Muslim Kao Islam – sebuah tempat yang terletak di Sungai Tololiku sekitar satu hari perjalanan dari pantai – telah mendengar desas-desus yang tersebar bahwa sultan telah digulingkan dan semua orang Kristen Alifuru harus diberhentikan segera setelah pajak dibayar tunai.
Pada tanggal 2 Desember 1906, Sangadji dan seorang Muslim yang yakin akan hasutan ditangkap di Kao dan dikirim menghadap ke pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) di Tobelo.
Terlepas dari gejolak di antara orang-orang Madole yang tinggal jauh di pedalaman dan intrik dari beberapa orang Muslim di Kao Islam, tapi tidak ada indikasi saling bermusuhan yang nanti akan memanifestasikan dirinya dengan tindakan kekerasan di pantai di tengah-tengah desa perdagangan yang padat penduduk.
Oleh karena itu, tampaknya cukup yakin bahwa pandangan dari Sangadji Madolé telah dimainkan di tangan para agitator Kau Islam.
Pada tanggal 5 Desember 1906 sekitar jam 8 pagi komandan patroli di Kao di pantai, Sersan Geerlings, diberitahu bahwa banyak orang yang marah telah berkumpul di sungai Kao dan pada pukul 1 siang bivak (kita) dikosongkan oleh kerumunan besar orang, merobohkan semak di sisi barat dan secara bersamaan menerkam di sisi utara dan selatan dari rumah-rumah tetangga, dengan hasil seperti yang tercantum dalam Telegram 12 Desember 1906. Hal mana peristiwa tersebut tampak bahwa 1 fusilier Eropa dan 2 fusilier penduduk asli tewas, 1 fusilier Eropa dan 1 kopral pribumi mengalami luka berat dan 2 fusilier pribumi terluka ringan, sedangkan musuh mengalami kerugian 23 tewas dan lebih dari 20 luka-luka. Mayat yang ditemukan serta penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa penyerang terdiri dari orang-orang Madole, Pagu dan Tololiko, yang dipimpin oleh orang Muslim di Kau Islam.
Di pagi hari tanggal 7 Desember 1906 — demikian lanjut menurut Residen Ternate — kabar angin pertama tentang gangguan keamana di wilayah Kao sampai kepadaku, yang dikonfirmasi satu jam kemudian oleh laporan dari sultan. Pada hari yang sama saya berangkat ke Kao bersama utusan dan tiba di sana pada tanggal 8; pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) sudah tiba dari Galela sehari sebelumnya dengan tujuh bala bantuan.
Saya mengirim utusan kembali ke Ternate untuk mendapatkan bala bantuan militer dan permintaan kepada komandan armada kapal “Koetei” diharapkan tiba di Ternate pada tanggal 13 Desember untuk melanjutkan ke Kao.
Pada tanggal 11 Desember 1906, utusan kembali dengan 10 orang dan seorang sersan.
Bahwa para penyerang telah menderita lebih banyak kerugian dalam serangan itu dari pada yang kita ketahui kemudian menjadi jelas, tetapi harus segera disimpulkan dari keadaan bahwa sejak hari ke-9 pria dengan wanita dan anak-anak dari kampung pemberontak mengaku tidak bersalah atas apa yang telah terjadi. Dilaporkan ke Kao, menyerahkan senjata api dan membayar pajak.
Pada tanggal 11 Desember 1906, saya mengunjungi Ake Selaka, di mana banyak dari orang-orang Kao telah melarikan diri di pantai, dan meminta mereka segera kembali ke rumah mereka, yang mereka patuhi pada hari-hari berikutnya dan membayar pajak pada saat yang sama.
Pada berita bahwa inti dari pemberontakan, yaitu orang Madole, akan berkumpul lagi di kampung mereka, tetapi terutama di Gam Ici. Pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) dengan 30 bayonet melakukan patroli pada tanggal 12 dan 13 dari Patang—di pantai, dua jam selatan Patang Kao utara — melintasi dan menyerbu kampung Soa Sangadji dan Soa Hukum, 1 jam arah timur Gam Ici.
Empat orang tewas dan empat senapan front-loading ditangkap. Setelah salvo pertama, penembakan berhenti ketika orang-orang itu melarikan diri dengan anak-anak di punggung mereka, yakni sambil menggendong anak.
Kampung Parseba, Gogola, Malako, dan Tuguis juga terkejut dan segera menawarkan penyerahan mereka; 15 senapan front-loading diserahkan.
Kampung Gamu Tuku, Tiwili, Sasul dan Bithia juga melaporkan.
Karena kesempatan untuk mengejutkan Gam Ici juga oleh mereka yang melarikan diri telah hilang, patroli kembali ke Kao Islam diterima. Pagi hari tanggal 15 Desember 1906, laki-laki dari Leleseng Gojók, Bibilait dan Tololiwang tiba di tempat terakhir.
Meninggalkan sersan dengan 29 bayonet di Kao Islam, pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) kembali pada tanggal 15 dengan hanya membawa sekering ke bivak di Kau di pantai.
Pada tanggal yang sama, Tgk. MS. Koetei di Kao.
Setelah mengadakan diskusi yang diperlukan dengan komandan kapal perang tersebut dan pejabat Gezaghebber (Letnan Sipil) mengenai tindakan apa yang harus dilakukan, karena saya harus kembali ke Ternate pada tanggal 16 hari ini.
Dari 12 agitator yang diketahui namanya, satu dikandung di Kao dan satu lagi oleh sultan di Ternate. Sultan telah diperintahkan untuk menempatkan sisanya di pantai barat.
Meski Kepala Soa Sengadji, Soa Hukum, Bebawat, dan Gam Ici belum melaporkan kepergian warga, warga yakin perlawanan telah dipatahkan untuk selama-lamanya.
Demikian isi dari berita koran “Bataviasch Nieuwsblad” tahun 1907, terbitan hari Senin, Tanggal 28 Januari 1907.
Catatan Penulis : Sekali lagi narasi ini adalah berita versi pihak Belanda melalui Wartawan Koresponden langsung dari Ternate untuk berita koran “Bataviasch Nieuwsblad”. Jika ada versi lokal terutama ceritera turun-temurun dari Masyarakat Kao, Pagu, Modole, maupun Isam. Silahkan di-share dalam komentar.
Di bawah ini adalah klipping, Koran “Bataviasch Nieuwsblad” tahun 1907, terbitan hari Senin, Tanggal 28 Januari 1907, Edisi Nomor : 47.
Pemerhati Adat & Budaya Ternate. Pendiri Komunitas MBBT (Mari Belajar Bahasa Ternate)
Setiap masyarakat adat atau kerajaan dimana pun, pastilah memiliki banyak sekali perbendaharaan kata berupa istilah khas di wilayah tersebut. Tidak terkecuali Ternate di Maluku Utara ini juga terdapat sejumlah istilah lokal, terutama terkait aspek adat-istiadat dan kesultanan. Hampir semua istilah lokal yang beragam tersebut sudah dikenal sejak dahulu. Namun ada pula diantaranya merupakan istilah baru yang masih terasa asing di telinga masyarakat Ternate ketika pertama kali istilah itu diperkenalkan ke publik.
Sesungguhnya sebutan kolano sudah dikenal sejak lama di negeri ini. Semua orang tahu bahwa kata kolano berarti sultan. Kata kolano kadang tidak berdiri sendiri sebagai kata tunggal yang memiliki arti khusus. Akan tetapi sering juga dijumpai dalam beberapa frasa majemuk, yang mana terdapat kata lain yang menyertainya sehingga pemaknaannya mengalami perubahan arti, misalnya; kolano-ngofangare yang kemudian berubah ucap menjadi kalfangare, juga frasa ngofa-kolano yang berarti; keturunan sultan, dan bangsa kolano yang berarti; kaum bangsawan, dll.
Sultan Muhammad Zain adalah putra kedua dari Sultan Ternate ke-40; Sultan Muhammad Yasin. Sebelum dinobatkan menjadi sultan Ternate ke-42, ia bergelar Kaicil Putra Muhammad Zain. Ia dinobatkan pada bulan puasa tepat pada hari Rabu 6 Ramadhan 1239 Hijriah (5 Mei 1824) dan bertakhta selama kurang lebih 35 tahun 6 bulan sejak dinobatkan. Ia bergelar : as-Sultan Taj ul-Mulki Amir Ud-din Iskandar Kaulaini Syah. Sultan Ternate ini wafat pada hari Ahad 24 Rabbiul Akhir 1276 Hijriah (20 November 1859), kemudian yang menggantikanya adalah putranya yang kemudian dikenal dengan nama; Sultan Muhammad Arsad (Azad).
Di masa kepemimpinannya, Sultan Muhammad Zain pernah mengeluarkan titah raja (istilah Ternate; Jaib Kolano) terkait beberapa tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat yang dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam. Namun sebelum mengeluarkan Jaib Kolano, ia mengundang seluruh jajaran kesultanan dan pihak terkait lainnya untuk hadir dalam musyawarah adat kemudian hasilnya diputuskan oleh sang Sultan.
Fragmen sejarah penting ini diabadikan dalam sebuah catatan sebagai arsip kerajaan oleh Sekretaris Besar kesultanan Ternate (sebutannya; Juru Tulis Lamo atau diucap Tulilamo) yang saat itu dijabat oleh; Haji Abdul Habib Djiko.
Dibawah ini adalah catatan tulisan tangan yang ditulis oleh Tulilamo Haji Abdul Habib Djiko :
Dimuat di Harian Malut Post ~ Kolom OPINI, Edisi Cetak; Sabtu, 25 April 2015.
Oleh : Busranto Latif Doa
(Pemerhati Adat, Budaya dan Sejarah Ternate)
Sultan-Sultan Ternate
Sejarah adalah guru (historia magistra vitae), begitulah kata pepatah. Fakta sejarah masa lampau adalah referensi bagi kita yang hidup saat ini, adalah pengertian dari teori “dimensi sejarah” dalam disiplin ilmu sejarah (historiografi). Dalil pembenaran pada teori ini mengemukakan bahwa; peristiwa yang terjadi masa lalu menjadi sejarah pada hari ini, lalu kejadian pada masa kini dikemudian hari akan menjadi sejarah, dan peristiwa pada masa yang akan datang akan menjadi sejarah bagi generasi sesudahnya (Louis Gottschalk, 1975). Teori ini mengajari kita bahwa dengan mengerti dan mengetahui masa lampau, kita dapat memahami keadaan pada masa kini, dan dengan memahami keadaan yang terjadi saat ini kita akan lebih bijak untuk menata masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan teori dalam metodeologi ilmi sejarah di atas, bila dikaitkan dengan sejarah panjang kesultanan Ternate khususnya dalam masa transisi pergantian sultan atau era kekosongan sultan (interregnum) yang dalam bahasa Ternate disebut; era kolano masoa, maka fakta sejarah itu dapat dijadikan acuan karena menggambarkan alur transisi pergantian sultan yang satu kepada sultan berikutnya. Berikut ini, penulis menguraikan jejak pewarisan takhta di kesultanan Ternate khususnya mulai dari Sultan Mudzaffar Syah I (ke-26) hingga Sultan Haji Mudaffar Syah II (ke-48) yang diolah dari berbagai sumber.